Oleh : Ponirin Mika*)
Probolinggo.HarianJatim.Com-Pada setiap malam Senin, saya mengajar kitab Arbain An-Nawawi pada anak mahasiswa di salah satu pesantren besar di Jawa Timur.
Pada pembahasan hadits kelima menerangkan tentang perihal penting dalam agama. Bunyi hadits yang di maksud adalah "Barang siapa yang membuat-buat ajaran baru dalam agama, maka ia akan tertolak". Bunyi hadits lain menyatakan "Barang siapa yang melakukan suatu amal yang tidak pernah diajarkan Rasulullah, amal tersebut akan tertolak".
Hadits ini yang sering dijadikan sebagai dasar argumentasi sebagian orang tentang persoalan bid'ah. Pernyataan tersebut sangat keras. Lebih keras dari ombak tsunami. Pada pengajian itu, ada pertanyaan yang menggelitik saya untuk menjawabnya. Sebut saja Nayla, seorang mahasiswi semester 3 bertanya, "Pak saat ini banyak orang yang melakukan perbuatan yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah".
Ia memberi contoh soal penggunaan microphon pada saat berdzikir selepas melaksanakan shalat lima waktu. Ini perbuatan bid'ah dan perbuatan bid'ah itu sesat dan setiap perbuatan sesat itu masuk neraka. Bagaimana bapak menanggapi pernyataan tersebut.
Menurut saya pernyataan itu belum tentu benar. Soal bid'ah ini, Imam Syafi'i membaginya menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah. Beliau lebih detail menjelaskan bahwa bid'ah hasanah adalah perbuatan yang ada dalil umumnya, meski tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Ada dalil yang berbunyi;
وفعلوا الخير لعلكم تفلحون
"Kerjakanlah perbuatan baik agar kalian beruntung".
Kata baik dalam ayat tersebut menunjukkan kalimat umum. Apapun bentuk perbuatan baik itu bisa dilakukan dan itu dianjurkan. Sementara bid'ah sayyiah adalah perbuatan yang tidak ada dalilnya, termasuk dalil yang bersifat umum.
Ada kebiasaan yang terjadi di masyarakat, yaitu boncengan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, meski mereka sudah bertunangan. Tradisi ini telah menjamur dan menganggap perilaku tersebut disahkan menurut agama. Ini menurut saya yang disebut bid'ah yang sesat.
Ketegasan hadits di atas sebagai informasi berkait pentingnya kehati-hatian dalam agama. Ajaran Islam bukanlah buatan manusia, tapi wahyu dari Allah untuk seluruh umat manusia. Membuat ajaran dengan mengatasnamakan ajaran Islam, padahal itu tidak benar, adalah suatu perbuatan yang terhina.
Akhir-akhir ini perilaku itu marak terjadi, disebabkan oleh hilangnya adab. Ironisnya, ia justru bangga dan tanpa merasa bersalah sedikitpun. Na'uzubillah.
Itulah mengapa pentingnya ilmu bagi setiap orang. Karena orang yang berilmu tidak ceroboh dalam melakukan sesuatu apapun dengan mengatasnamakan agama. Walluhu a'lam.
No comments:
Post a Comment